MENCARI HAKIKAT KEBENARAN DI TENGAH TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM

Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam

Dosen : Sir Koja Iswanto, M.Pd


Pendidikan dan filsafat merupakan fondasi utama dalam membentuk suatu peradaban. Filsafat berperan sebagai penentu arah, makna, serta tujuan pendidikan, sedangkan pendidikan menjadi sarana dalam merealisasikan nilai-nilai filosofis dalam kehidupan nyata. Dalam perspektif Islam, pendidikan tidak sekadar mengajarkan ilmu, namun juga membentuk manusia yang utuh atau berakal sehat, beriman, dan berakhlak mulia. Akan tetapi, dalam konteks Indonesia, kerap muncul benturan nilai antara sistem pendidikan modern dengan nilai-nilai filosofis yang bersumber dari ajaran Islam.


1. Korelasi Antara Filsafat dan Pendidikan dalam Islam

Filsafat memberikan fondasi dalam hal realitas (ontologi), sumber pengetahuan (epistemologi), dan nilai (aksiologi) yang menjadi dasar arah pendidikan. Dalam Islam, pendidikan bertujuan untuk mencetak manusia paripurna atau insan kamil, yaitu sosok yang seimbang antara aspek spiritual dan intelektual. Filsafat pendidikan Islam menyatukan aspek duniawi dan ukhrawi, serta menyelaraskan antara akal dan wahyu.

Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan bahwa, “Esensi pendidikan Islam adalah mencetak manusia yang baik, bukan sekadar individu yang cakap secara teknis atau ekonomis” (Islam and Secularism, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam harus menanamkan nilai tauhid, adab, dan ilmu yang membawa manfaat bagi kehidupan.


2. Sumber Hakikat Kebenaran Menurut Filsafat Islam

Dalam filsafat Islam, terdapat tiga pilar utama dalam pencarian dan penetapan kebenaran:

a. Wahyu (Al-Qur’an dan Hadis)

Wahyu menjadi landasan utama dalam menilai kebenaran. Al-Qur’an menegaskan bahwa dirinya adalah pedoman hidup bagi umat manusia (QS. Al-Baqarah: 2). Pendidikan dalam Islam harus berpijak pada ajaran wahyu.

b. Akal (Rasionalitas)

Akal digunakan sebagai alat untuk memahami wahyu, menafsirkannya, dan menerapkannya dalam kehidupan. Al-Ghazali menekankan bahwa akal adalah anugerah ilahi yang harus digunakan secara bertanggung jawab dan tetap berada dalam koridor wahyu (Ihya’ Ulumuddin).

c. Pengalaman Empiris dan Indra

Islam tidak menolak metode ilmiah yang berbasis observasi dan pengalaman selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tokoh seperti Ibn Sina dan Al-Farabi menggabungkan logika dan pengamatan dalam membangun ilmu pengetahuan.


3. Tantangan dan Konflik Pendidikan di Indonesia

Sistem pendidikan di Indonesia sering kali menghadapi konflik nilai, khususnya dalam perbedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan sekuler. Ketidakseimbangan antara pencapaian spiritual dan kebutuhan praktis menjadi permasalahan utama.

Contohnya adalah implementasi kebijakan "Merdeka Belajar" yang memberikan kebebasan siswa dalam menentukan materi, namun cenderung mengabaikan pembentukan akhlak dan nilai-nilai spiritual. Prof. Komaruddin Hidayat menyoroti bahwa sistem pendidikan saat ini lebih menyiapkan peserta didik untuk dunia kerja dibandingkan membentuk pribadi yang utuh secara moral (Kompas, 2021).

Masalah lain adalah ketimpangan fasilitas dan kualitas pendidikan antara lembaga Islam dengan sekolah umum. Kurangnya perhatian terhadap lembaga pendidikan Islam membuat integrasi nilai-nilai Islam ke dalam sistem nasional menjadi sulit tercapai.

Pendidikan dan filsafat Islam saling mendukung dalam upaya menciptakan generasi yang cerdas dan bermoral. Tiga sumber kebenaran dalam Islam yaitu wahyu, akal, dan pengalaman, harus menjadi landasan dalam menyusun sistem pendidikan yang menyeluruh. Di tengah tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia, sudah saatnya untuk membenahi kebijakan dan kurikulum agar sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Dengan demikian, akan lahir generasi yang tidak hanya pandai secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan etis.


4. Opini Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Sebagai mahasiswa, saya pernah merasa bahwa pendidikan hanya sebatas rutinitas akademik: hadir di kelas, mengerjakan tugas, mengikuti ujian, lalu mendapatkan nilai. Semuanya terasa mekanis dan tidak memberikan makna yang mendalam. Bahkan, saya pernah berada pada titik di mana saya mempertanyakan: “Apa sebenarnya tujuan saya belajar?” Pada saat itu, motivasi saya menurun, dan saya merasa lelah secara mental. Saya melihat pendidikan hanya sebagai alat untuk mendapat pekerjaan, bukan sebagai proses pembentukan diri.

Namun, titik balik terjadi saat saya mengikuti sebuah mata kuliah yang membahas tentang filsafat pendidikan Islam, khususnya pemikiran tokoh seperti Al-Ghazali. Dalam pemikiran beliau, pendidikan bukan hanya transfer ilmu, melainkan proses untuk menyucikan jiwa, memperbaiki akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah. Konsep ini sangat menyentuh saya secara pribadi. Saya mulai menyadari bahwa belajar tidak hanya soal otak, tetapi juga soal hati dan niat.

Sejak saat itu, saya mulai mencoba memaknai setiap proses pembelajaran. Saya tidak lagi belajar hanya agar bisa mengerjakan soal ujian, tetapi untuk memahami realitas, memperdalam iman, dan memperbaiki diri. Ketika saya membaca materi-materi filsafat atau sejarah pendidikan Islam, saya mulai mengaitkannya dengan kehidupan saya sendiri. Saya mulai melihat bahwa pengalaman pribadi, termasuk tantangan dan kegagalan, justru bisa menjadi sumber pelajaran yang sangat berharga.

Misalnya, ketika saya gagal dalam sebuah proyek kuliah, saya tidak langsung menyerah seperti sebelumnya. Saya merenung dan bertanya, “Apa makna kegagalan ini bagi proses pembelajaran saya?” Dari sana, saya belajar bahwa pendidikan juga mengajarkan ketabahan, refleksi, dan kemampuan untuk bangkit kembali.

Bagi saya, pendidikan adalah cermin. Ia memantulkan siapa kita dan ke mana kita ingin pergi. Setiap pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, adalah bagian dari kurikulum kehidupan yang membentuk pemahaman kita tentang dunia dan diri sendiri. Oleh karena itu, opini saya berdasarkan pengalaman pribadi menyimpulkan bahwa pendidikan sejati bukanlah sekadar mengejar nilai akademik, melainkan proses menjadi manusia yang berpikir kritis, berjiwa luhur, dan memiliki arah hidup yang jelas.

Komentar